Minggu, 28 November 2010

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN SULOSIO PLASENTA

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. DEFINISI
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari implantasi normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin lahir. Jika separasi ini terjadi di bawah kehamilan 20 minggu maka mungkin akan didiagnosis sebagai abortus imminens.
Solusio placenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta yang implantasinya normal, sebelum janin dilahirkan, pada masa kehamilan atau persalinan, disertai perdarahan pervaginam, pada usia kehamilan 20 minggu.
Cunningham dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta sebagai separasi premature plasenta dengan implantasi normalnya korpus uteri sebelum janin lahir.
Abdul Bari Saifuddin dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasi normalnya sebelum janin lahir, dan definisi ini hanya berlaku apabila terjadi pada kehamilan di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500 gram.
Jadi , solusio placenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan placenta dari implantasi normalnya (korpus uteri) sebelum janin lahir, dengan disertao perdarahan pervaginam pada usia kehamilan 20 minggu atau berat janin di atas 500 gram

2. ETIOLOGI
Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa factor yang menjadi predisposisi :
1. Faktor kardio-reno-vaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia. Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan. Dapat terlihat solusio plasenta cenderung berhubungan dengan adanya hipertensi pada ibu.

2. Faktor Trauma
Trauma yang dapat terjadi antara lain :
• Dekompresi uterus yang mendadak pada hidroamnion, polihidramnion dan gemeli.
• Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas,
versi luar atau tindakan pertolongan persalinan.
• Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.
Dari penelitian yang dilakukan Slava di Amerika Serikat diketahui bahwa trauma yang terjadi pada ibu (kecelakaan, pukulan, jatuh, dan lain-lain) merupakan penyebab 1,5-9,4% dari seluruh kasus solusio plasenta. Di RSUPNCM dilaporkan 1,2% kasus solusio plasenta disertai trauma.

3. Faktor Paritas Ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer mencatat bahwa dari 83 kasus solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45 kasus terjadi pada wanita multipara dan 18 pada primipara. Pengalaman di RSUPNCM menunjukkan peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu dengan paritas tinggi. Hal ini dapat diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium.

4. Faktor Usia Ibu
Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa terjadinya peningkatan kejadian solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Hal ini dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun.




5. Tumor Uterus
Tumor uterus seperti leiomioma uteri (uterine leiomyoma / mioma uteri) yang hamil dapat menyebabkan solusio plasenta apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma.

6. Faktor penggunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan pelepasan katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh darah uterus dan dapat berakibat terlepasnya plasenta. Namun, hipotesis ini belum terbukti secara definitif. Angka kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu penggunan kokain dilaporkan berkisar antara 13-35%.

7. Faktor Kebiasaan Merokok
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta sampai dengan 25% pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya. Deering dalam penelitiannya melaporkan bahwa resiko terjadinya solusio plasenta meningkat 40% untuk setiap tahun ibu merokok sampai terjadinya kehamilan.

8. Riwayat Solusio Placenta sebelumnya
Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio plasenta adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta sebelumnya.

9. Pengaruh lain
Seperti ketuban pecah dini, anomali uterus, anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan pada vena cava inferior akibat uterus yang membesar, dan lain-lain.


3. EPIDEMIOLOGI
Insiden solusio plasenta jarang terjadi dan bervariasi antara 0,2-2,4 % dari seluruh kehamilan. Literatur lain menyebutkan insidennya 1 dalam 77-89 persalinan, dan bentuk solusio plasenta berat 1 dalam 500-750 persalinan. Slava dalam penelitiannya melaporkan insidensi solusio plasenta di dunia adalah 1% dari seluruh kehamilan. Di sini terlihat bahwa tidak ada angka pasti untuk insiden solusio plasenta, karena adanya perbedaan kriteria menegakkan diagnosisnya.
Penelitian Cunningham di Parkland Memorial Hospital melaporkan 1 kasus dalam 500 persalinan. Tetapi sejalan dengan penurunan frekuensi ibu dengan paritas tinggi, terjadi pula penurunan kasus solusio plasenta menjadi 1 dalam 750 persalinan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Deering didapatkan 0,12% dari semua kejadian solusio plasenta di Amerika Serikat menjadi sebab kematian bayi. Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Ducloy di Swedia melaporkan dalam 894.619 kelahiran didapatkan 0,5% terjadi solusio plasenta.
Menurut data yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta didapat angka 2% atau 1 dalam 50 persalinan. Antara tahun 1968-1971 solusio plasenta terjadi pada kira-kira 2,1% dari seluruh persalinan, yang terdiri dari 14% solusio plasenta sedang dan 86% solusio plasenta berat.
Solusio plasenta ringan jarang didiagnosis, mungkin karena penderita terlambat datang ke rumah sakit atau tanda-tanda dan gejalanya terlalu ringan sehingga tidak menarik perhatian penderita maupun dokternya. Sedangkan penelitian yang dilakukan Suryani di RSUD. DR. M. Djamil Padang dalam periode 2002-2004 dilaporkan terjadi 19 kasus solusio plasenta dalam 4867persalinan (0,39%) atau 1 dalam 256 persalinan.

4. PATOFISIOLOGI
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik (hematom retroplasenta) yang dapat berasal dari rupturnya pembuluh darah miometrium atau plasenta (arteri spiralis desidua), dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus.
Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan sedikit mendesak jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter belum terganggu, serta gejala dan tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan plasenta didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman.
Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus/tidak terkontrol karena otot uterus yang meregang oleh kehamilan tidak mampu berkontraksi untuk membantu dalam menghentikan perdarahan yang terjadi. Akibatnya hematom subkhorionik (hematom retroplasenta) akan menjadi bertambah besar, kemudian akan medesak plasenta sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta akan terlepas dari implantasinya di dinding uterus.
Sebagian darah akan masuk ke bawah selaput ketuban, dapat juga keluar melalui vagina, darah juga dapat menembus masuk ke dalam kantong amnion, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium uterus. Apabila ekstravasasinya berlangsung hebat akan terjadi suatu kondisi uterus yang biasanya disebut dengan istilah Uterus Couvelaire (Uterus Bercak Biru).
Pada kondisi ini dapat dilihat secara makroskopis seluruh permukaan uterus terdapatbercak-bercak berwarna biru atau ungu. Uterus pada kondisi seperti ini (Uterus Couvelaire) akan terasa sangat tegang, nyeri dan juga akan mengganggu kontraktilitas (kemampuan berkontraksi) uterus yang sangat diperlukan pada saat setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya akan terjadi perdarahan post partum yang hebat.
Perdarahan yang tertahan atau tersembunyi dapat terjadi bila :
1. Terdapat efusi darah di balik plasenta tetapi tepi plasenta masih melekat.
2. Plasenta sudah terlepas sama sekali tetapi selaput ketuban masih melekat pada dinding uterus.
3. Darah mengalir masuk ke dalam rongga amnion setelah menimbulkan ruptur selaput ketuban.
4. Kepala janin begitu rapat dengan segmen bawah uterus sehingga darah tidak bisa melewatinya.

Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan tromboplastin yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler dimanamana atau disseminated intravascular coagulation (DIC) yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan intravaskular

5. KLASIFIKASI
1. Trijatmo Rachimhadhi membagi solusio plasenta menurut derajat pelepasan plasenta, yaitu :
• Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.
• Solusio plasenta parsialis, plasenta terlepas sebagian.
• Ruptura sinus marginalis, hanya sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.
2. Pritchard JA membagi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan, yaitu :
• Solusio plasenta dengan perdarahan keluar melalui vagina. Darah terlihat dari luar.
• Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi yang membentuk hematoma retroplacenter. Darah tidak mengalir ke luar tetapi tertahan diantara bagian plasenta yang lepas dengan bagian uterus. Jenis ini jarang terjadi.
• Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong amnion (ketuban) setelah menembus selaput ketuban
3. Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan solusio plasenta menurut tingkat gejala klinisnya, yaitu :
• Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma lebih 150 mg%.
• Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan, gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.
• Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin mati, pelepasan plasenta dapat terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.

6. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis dari kasus-kasus solusio plasenta diterangkan atas pengelompokannya menurut gejala klinis :
1. Solusio plasenta ringan
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terasa agak tegang yang sifatnya terus menerus.Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang agak tegang ini harus selalu diawasi, karena dapat saja menjadi semakin tegang karena perdarahan yang berlangsung. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio plasenta ringan ini adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitam-hitaman.
2. Solusio plasenta sedang
Dalam hal ini plasenta telah terlepas lebih dari satu per empat bagian, tetapi belum dua per tiga luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan, tetapi dapat juga secara mendadak dengan gejala sakit perut terus-menerus, yang tidak lama kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam.Walaupun perdarahan pervaginam dapat sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, demikian pula janinnya yang jika masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan gawat. Dinding uterus teraba tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar untuk diraba. Apabila janin masih hidup, bunyi jantung sukar didengar. Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi, walaupun hal tersebut lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat.
3. Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari dua per tiga permukaannnya. Terjadi sangat tiba tiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok dan janinnya telah meninggal. Uterusnya sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, terkadang perdarahan pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada keadaan-keadaan di atas besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada pembekuan darah dan kelainan/gangguan fungsi ginjal.

Kelas Gejala
Kelas 0 – asimtomatik • Gejala tidak ada
• Diagnosis dibuat dengan menemukan pembekuan darah yang terorganisasi atau bagian yang terdepresi pada plasenta yang sudah dilahirkan
Kelas 1 – ringan
(Rupturan sinus marginalis atau
sebagian kecil plasenta yang tidak
berdarah banyak) • Tidak ada atau sedikit perdarahan dari vagina yang warnanya kehitam-hitaman
• Rahim yang sedikit nyeri atau terus menerus agak tegang
• Tekanan darah dan frekuensi nadi ibu yang normal
• Tidak ada koagulopati
• Tidak ada gawat janin
Kelas 2 – sedang
(Plasenta lepas lebih dari 1/4-nya
tetapi belum sampai 2/3 luas
permukaannya) • Tidak ada hingga adanya perdarahan dari vagina dalam jumlah yang sedang
• Nyeri pada uterus yang bersifat sedang hingga berat, bisa disertai kontraksi tetanik. Nyeri perut dirasakan terus menerus, uterus teraba tegang dan nyeri tekan
• Takikardi pada ibu dengan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan frekuensi nadi. Ibu dapat jatuh ke dalam keadaan syok
• Gawat janin
• Hipofibrinogenemia (50 – 250 mg/dL), mungkin terjadi kelainan pembekuan darah
Kelas 3 – berat
(Plasenta telah terlepas lebih dari 2/3luas permukaannya) • Tidak ada hingga perdarahan vagina yang berat
• Kontraksi tetanik uterus yang sangat nyeri
• Syok pada ibu
• Hipofibrinogenemia (<150 mg/dL)
• Koagulopati
• Kematian janin

7. PEMERIKSAAN FISIK
1. Anamnesis
• Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien dapat menunjukkan tempat yang dirasa paling sakit.
• Perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat dan sekonyong-konyong (nonrecurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman.
• Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak bergerak lagi).
• Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-kunang. Ibu terlihat anemis yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar pervaginam.
• Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.

2. Inspeksi
• Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
• Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.
• Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).

3. Palpasi
• Tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.
• Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu his maupun di luar his.
• Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.
• Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.

4. Auskultasi
Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila denyut jantung terdengar biasanya di atas 140, kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari satu per tiga bagian.

5. Pemeriksaan Dalam
• Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup.
• Kalau sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his maupun di luar his.
• Apabila plasenta sudah pecah dan sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus placenta, ini sering meragukan dengan plasenta previa.

6. Pemeriksaan Umum
Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh dalam keadaan syok. Nadi cepat, kecil dan filiformis.


8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
• Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen dapat ditemukan silinder dan leukosit.
• Darah : Hb menurun, periksa golongan darah, lakukan cross-match test. Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation test) tiap l jam, tes kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan tes kuantitatif fibrinogen (kadar normalnya 15O mg%).
• PT dan APTT yang memanjang, kadar fibrinogen menurun (hipofibrinogenemia) dan kadar D-dimer meningkat. Ini menunjukkan telah terjadi komplikasi koagulopati pada pasien yaitu disseminated intravascular coagulation. Harus dilakukan pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah untuk melihat apakah sudah terjadi komplikasi pada ginjal.

2. Pemeriksaan Plasenta
Plasenta dapat diperiksa setelah dilahirkan. Biasanya tampak tipis dan cekung di bagian plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau darah beku yang biasanya menempel di belakang plasenta, yang disebut hematoma retroplacenter.

3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain :
• Terlihat daerah terlepasnya plasenta.
• Janin dan kandung kemih ibu.
• Darah
• Tepian plasenta
9. PENATALAKSANAAN / TERAPI
Penanganan kasus-kasus solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala klinis atau menurut keadaan ibu dan janinnya. Karena telah terjadi syok pada pasien, maka penanganan yang pertama kali harus diberikan adalah resusitasi cairan dengan menggunakan kristaloid sampai tercapai tekanan darah minimal 90/60 mmHg. Perlu juga dipasang kateter untuk memonitor urin yang keluar. Bila terjadi oligouria, berarti ada kemungkinan telah terjadi komplikasi pada ginjal.
Selain cairan, secepatnya harus dilakukan cross darah dan pemberian fresh frozen plasma (FFP) dan tranfusi packed red cell (PRC) untuk mengganti darah yang sudah keluar dan memperbaiki anemia. Pemberian FFP ditujukan untuk memperbaiki keadaan koagulopati karena di dalam FFP terdapat fibrinogen dan berbagai faktor pembekuan.
Pemberian tranfusi dapat juga diganti menggunakan whole blood karena di dalamnya sudah terkandung komponen sel darah merah, fibrinogen, dan faktor-faktor pembekuan.
Penanganan solusio plasenta berdasarkan gejala klinis, yaitu:
1. Solusio plasenta ringan
Ekspektatif, bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan spontan. Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul infus oksitosin untuk mempercepat persalinan.
2. Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan di
rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu seksio sesaria.
Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan. Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin. Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom subkhorionik dan terjadinya pembekuan intravaskuler dimana-mana.
Persalinan juga dapat dipercepat dengan memberikan infus oksitosin yang bertujuan untuk memperbaiki kontraksi uterus yang mungkin saja telah mengalami gangguan.
Gagal ginjal sering merupakan komplikasi solusio plasenta. Biasanya yang terjadiadalah nekrosis tubuli ginjal mendadak yang umumnya masih dapat tertolong dengan penanganan yang baik. Tetapi bila telah terjadi nekrosis korteks ginjal, prognosisnya buruk sekali. Pada tahap oliguria, keadaan umum penderita umumnya masih baik. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang teliti yang harus secara rutin dilakukan pada penderita solusio plasenta sedang dan berat, apalagi yang disertai hipertensi menahun dan preeklamsia. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang, pemberantasan infeksi yang mungkin terjadi, mengatasi hipovolemia, menyelesaikan persalinan secepat mungkin dan mengatasi kelainan pembekuan darah.
Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan pengamatan pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari bahaya hepatitis, oleh karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada penderita yang sangat memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan melakukan persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah kelainan pembekuan darah.
Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infuse oksitosin, maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria. Mungkin timbul pertanyaan dalam penanganan kasus pasien mengenai pemilihan sectio cesarea sebagai tindakan pengakhiran kehamilan. Janin dalam kandungan sudah meninggal, mengapa tidak dilakukan persalinan spontan per vaginam untuk melahirkan bayi. Dalam hal ini dapat dikemukakan beberapa alasan. Kondisi ibu yang tidak stabil yaitu dalam keadaan syok kurang memungkinkan dilakukannya persalinan per vaginam. Kemudian, penanganan perdarahan harus secepatnya diatasi agar kondisi ibu tidak semakin jelek.
Tindakan yang terbaik untuk mengatasi perdarahan adalah dengan segera menghentikan sumber perdarahannya, dalam hal ini adalah dengan melahirkan bayi dan plasenta secepatnya. Proses persalinan harus sudah selesai dalam 3-6 jam setelah terjadinya solusio plasenta.
Apoplexi uteroplacenta (uterus couvelaire) tidak merupakan indikasi histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah dilakukan seksio sesaria maka tindakan histerektomi perlu dilakukan. Pemberian fibrinogen pada kasus hipofibrinogenemia hanya dilakukan bagi penderita yang sangat memerlukan dan tidak menjadi pengobatan rutin bagi setiap kasus solusio plasenta. Pemberian setiap 1 gram fibrinogen akan meningkatkan kadar fibrinogen darah 40 mg%.

10. KOMPLIKASI
Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu :
1. Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hamper tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III persalinan dan adanya kelainan pada pembekuan darah. Pada solusio plasenta berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat.
Titik akhir dari hipotensi yang persisten adalah asfiksia, karena itu pengobatan segera ialah pemulihan defisit volume intravaskuler secepat mungkin. Angka kesakitan dan kematian ibu tertinggi terjadi pada solusio plasenta berat. Meskipun kematian dapat terjadi akibat nekrosis hipofifis dan gagal ginjal, tapi mayoritas kematian disebabkan syok perdarahan dan penimbunan cairan yang berlebihan.
Tekanan darah tidak merupakan petunjuk banyaknya perdarahan, karena vasospasme akibat perdarahan akan meninggikan tekanan darah. Pemberian terapi cairan bertujuan mengembalikan stabilitas hemodinamik dan mengkoreksi keadaan koagulopathi. Untuk tujuan ini pemberian darah segar adalah pilihan yang ideal, karena pemberian darah segar selain dapat memberikan sel darah merah juga dilengkapi oleh platelet dan factor pembekuan.


2. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik.
Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan terjadi akibat nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan pada solusio plasenta berat.
Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang secukupnya,
pemberantasan infeksi, atasi hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan pembekuan darah.

3. Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh
hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di RSUPNCM dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus solusio plasenta yang ditelitinya.
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450 mg%,
berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang dari 100 mg % maka akan terjadi gangguan pembekuan darah.
Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua fase :
• Fase I
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi pembekuan darah, disebut disseminated intravasculer clotting. Akibatnya ialah peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi) terganggu. Jadi pada fase I, turunnya kadar fibrinogen disebabkan karena pemakaian zat tersebut, maka fase I disebut juga coagulopathi consumptive.
Diduga bahwa hematom subkhorionik mengeluarkan tromboplastin yang menyebabkan pembekuan intravaskuler tersebut. Akibat gangguan mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan jaringan pada alat-alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan oliguria/anuria.
• Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh untuk membuka
kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan dengan
fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan malah berakibat lebih menurunkan lagi
kadar fibrinogen sehingga terjadi perdarahan patologis.
Kecurigaan akan adanya kelainan pembekuan darah harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, namun di klinik pengamatan pembekuan darah merupakan cara pemeriksaan yang terbaik karena pemeriksaan laboratorium lainnya memerlukan waktu terlalu lama, sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan penderita saat itu.

4. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru atau ungu yang biasa disebut Uterus couvelaire. Tapi apakah uterus ini harus diangkat atau tidak, tergantung pada kesanggupannya dalam membantu menghentikan perdarahan.
Komplikasi yang dapat terjadi pada janin :
1. Fetal distress
2. Gangguan pertumbuhan/perkembangan
3. Hipoksia dan anemia
4. Kematian

11. PROGNOSIS
Prognosis ibu tergantung luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus, banyaknya perdarahan, ada atau tidak hipertensi menahun atau preeklamsia, tersembunyi tidaknya perdarahan, dan selisih waktu terjadinya solusio plasenta sampai selesainya persalinan. Angka kematian ibu pada kasus solusio plasenta berat berkisar antara 0,5-5%. Sebagian besar kematian tersebut disebabkan oleh perdarahan, gagal jantung dan gagal ginjal.
Hampir 100% janin pada kasus solusio plasenta berat mengalami kematian. Tetapi ada literatur yang menyebutkan angka kematian pada kasus berat berkisar antara 50-80%. Pada kasus solusio plasenta ringan sampai sedang, keadaan janin tergantung pada luasnya plasenta yang lepas dari dinding uterus, lamanya solusio plasenta berlangsung dan usia kehamilan. Perdarahan lebih dari 2000 ml biasanya menyebabkan kematian janin. Pada kasus-kasus tertentu tindakan seksio sesaria dapat mengurangi angka kematian janin.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Anamnesis
• Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien dapat menunjukkan tempat yang dirasa paling sakit.
• Perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat dan sekonyong-konyong (nonrecurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman.
• Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak bergerak lagi).
• Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-kunang. Ibu terlihat anemis yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar pervaginam.
• Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.

b. Inspeksi
• Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
• Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.
• Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).

c. Palpasi
• Tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.
• Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu his maupun di luar his.
• Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.
• Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.

d. Auskultasi
Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila denyut jantung terdengar biasanya di atas 140, kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari satu per tiga bagian.

e. Pemeriksaan Dalam
• Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup.
• Kalau sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his maupun di luar his.
• Apabila plasenta sudah pecah dan sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus placenta, ini sering meragukan dengan plasenta previa.

f. Pemeriksaan Umum
Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh dalam keadaan syok. Nadi cepat, kecil dan filiformis.

g. Pemeriksaan Laboratorium
• Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen dapat ditemukan silinder dan leukosit.
• Darah : Hb menurun, periksa golongan darah, lakukan cross-match test. Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation test) tiap l jam, tes kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan tes kuantitatif fibrinogen (kadar normalnya 15O mg%).
• PT dan APTT yang memanjang, kadar fibrinogen menurun (hipofibrinogenemia) dan kadar D-dimer meningkat. Ini menunjukkan telah terjadi komplikasi koagulopati pada pasien yaitu disseminated intravascular coagulation. Harus dilakukan pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah untuk melihat apakah sudah terjadi komplikasi pada ginjal.

h. Pemeriksaan Plasenta
Plasenta dapat diperiksa setelah dilahirkan. Biasanya tampak tipis dan cekung di bagian plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau darah beku yang biasanya menempel di belakang plasenta, yang disebut hematoma retroplacenter.

i. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain :
• Terlihat daerah terlepasnya plasenta.
• Janin dan kandung kemih ibu.
• Darah
• Tepian plasenta

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan ditandai dengan conjungtiva anemis , acral dingin , Hb turun , muka pucat & lemas .
b) Resiko tinggi terjadinya fetal distress berhubungan dengan perfusi darah ke plasenta berkurang .
c) Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi uterus di tandai terjadi distress / pengerasan uterus , nyeri tekan uterus .
d) Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai dengan klien selalu bertanya-tanya tentang penyakitnya
e) Potensial terjadinya hypovolemik syok berhubungan dengan perdarahan .
f) Kurang pengetahuan klien tentang keadaan patologi yang dialaminya berhubungan dengan kurangnya informasi ditandai dengan klien tidak mengerti tentang penyakitnya

3. PERENCANAAN
a) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan ditandai dengan conjungtiva anemis , acral dingin , Hb turun , muka pucat & lemas .
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x24 jam diharapkan suplai/ kebutuhan darah ke jaringan terpenuhi, dengan kriteria hasil :
• Conjunctiva tidak anemis
• Acral hangat
• Hb normal
• Muka tidak pucat
• Tidak lemas
• TTV dalam batas normal ; Suhu : 36-37 0 C, TD : 120/80 mmHg, RR :18-20x/menit, Nadi : 80-100 x/menit
Intervensi keperawatan :
Intervensi Rasional
1. Bina hubungan saling percaya dengan pasien Pasien percaya tindakan yang dilakukan
2. Jelaskan penyebab terjadi perdarahan Pasien paham tentang kondisi yang dialami
3. Monitor tanda-tanda vital Tensi, nadi yang rendah, RR dan suhu tubuh yang tinggi menunjukkan gangguan sirkulasi darah.
4. Kaji tingkat perdarahan setiap 15 – 30 menit Mengantisipasi terjadinya syok
5. Catat intake dan output Produsi urin yang kurang dari 30 ml/jam menunjukkan penurunan fungsi ginjal.
6. Kolaborasi pemberian cairan infus isotonik Cairan infus isotonik dapat mengganti volume darah yang hilang akiba perdarahan.
7. Kolaborasi pemberian tranfusi darah bila Hb rendah Tranfusi darah mengganti komponen darah yang hilang akibat perdarahan.

b) Resiko tinggi terjadinya fetal distress berhubungan dengan perfusi darah ke plasenta berkurang .
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan tidak terjadi fetal distress, dengan kriteria hasil :
• DJJ normal / terdengar, bisa berkoordinasi
• Adanya pergerakan bayi
• Bayi lahir selamat.
Intervensi Keperawatan :
Intervensi Rasional
1. Jelaskan resiko terjadinya dister janin / kematian janin pada ibu Kooperatif pada tindakan
2. Hindari tidur terlentang dan anjurkan tidur ke posisi kiri Tekanan uterus pada vena cava aliran darah kejantung menurun sehingga terjadi perfusi jaringan.
3. Observasi tekanan darah dan nadi klien
Penurunan dan peningkatan denyut nadi terjadi pad sindroma vena cava sehingga klien harus di monitor secara teliti.
4. Observasi perubahan frekuensi dan pola DJ janin
Penurunan frekuensi plasenta mengurangi kadar oksigen dalam janin sehingga menyebabkan perubahan frekuensi jantung janin.
5. Berikan O2 10 – 12 liter dengan masker jika terjadi tanda-tanda fetal distress Meningkatkan oksigen pada janin

c) Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi uterus di tandai terjadi distress / pengerasan uterus , nyeri tekan uterus .
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan nyeri berkurang atau terkontrol, dengan kriteria hasil :
• Mengungkapkan nyeri dan tegang di perutnya berkurang
• Skala nyeri 0-1
• Dapat melakukan tindakan untuk mengurangi nyeri
• Kooperatif dengan tindakan yang dilakukan
• TTV dalam batas normal ; Suhu : 36-37 0 C, TD : 120/80 mmHg, RR :18-20x/menit, Nadi : 80-100 x/menit
Intervensi Keperawatan :
Intervensi Rasional
1. Kaji intensitas, karakteristik, dan derajat nyeri
Pengkajian yang spesifik membantu memilih intervensi yang tepat

2. Pertahankan tirah baring selama masa akut
Meminimalkan stimulasi atau meningkatkan relaksasi

3. Berikan tindakan non farmakologis teknis distraksi atau relaksasi : ciptakan lingkungan terapeutik
Distraksi bertujuan mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri. Relaksasi bertujuan untuk melemaskan otot sehingga klien lebih tenang dan mempunyai pola koping yang lebih positif
4. Observasi keluhan dan TTV Mengetahui perkembangan kondisi klien
5. Libatkan suami dan keluarga Memberi dukungan mental kepada klien

d) Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai dengan klien selalu bertanya-tanya tentang penyakitnya
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan cemas terkontrol dan klien dapat mengerti tentang keadaannya , dengan kriteria hasil :
• Klien tidak cemas
• Klien tidak gelisah
• Klien tampak tenang
Intervensi Keperawatan :
Intervensi Rasional
1. Anjurkan klien untuk mengemukakan hal-hal yang dicemaskan. Dengan mengungkapkan perasaannya akan mengurangi beban pikiran.
2. Ajak klien mendengarkan denyut jantung janin Mengurangi kecemasan klien tentag kondisi janin.
3. Beri penjelasan tentang kondisi janin Mengurangi kecemasan tentang kondisi / keadaan janin.
4. Beri informasi tentang kondisi klien Mengembalikan kepercayaan dan klien.
5. Anjurkan untuk manghadirkan orang-orang terdekat Dapat memberi rasa aman dan nyaman bagi klien
6. Anjurkan klien untuk berdo’a kepada tuhan Dapat meningkatkan keyakinan kepada Tuhan tentang kondisi yang dialami.
7. Jelaskan tujuan dan tindakan yang akan diberikan Klien kooperatif dengan perawat

e) Potensial terjadinya hypovolemik syok berhubungan dengan perdarahan .
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan syok hipovolemik tidak terjadi, dengan kriteria hasil :
• Perdarahan berkurang
• TTV dalam batas normal ; Suhu : 36-37 0 C, TD : 120/80 mmHg, RR :18-20x/menit, Nadi : 80-100 x/menit
• Keadaan umum baik, kesadaran Compos mentis
Intervensi Keperawatan :
Intervensi Rasional
1. Kaji perdarahan setiap 15 – 30 menit Mengetahui adanya gejala syok sedini mungkin
2.Monitor tekanan darah, nadi, pernafasan setiap 15 menit, bila normal observasi dilakukan setiap 30 menit. Mengetahui keadaan pasien
3. Awasi adanya tanda-tanda syok, pucat, menguap terus keringat dingin, kepala pusing. Menentukan intervensi selanjutnya dan mencegah syok sedini mungkin
4. Kaji konsistensi abdomen dan tinggi fundus uteri. Mengetahui perdarahan yang tersembunyi
5. Catat intake dan output
Produksi urine yang kurang dari 30 ml/jam merupakan penurunan fungsi ginjal.
6. Berikan cairan sesuai dengan program terapi Mempertahankan volume cairan sehingga sirkulasi bisa adekuat dan sebagian persiapan bila diperlukan transfusi darah.
7. Pemeriksaan laboratorium hematkrit dan hemoglobin Menentukan intervensi selanjutnya
8. Kolaborasi pemberian tranfusi darah bila Hb rendah Tranfusi darah mengganti komponen darah yang hilang akibat perdarahan.

f) Kurang pengetahuan klien tentang keadaan patologi yang dialaminya berhubungan dengan kurangnya informasi ditandai dengan klien tidak mengerti tentang penyakitnya
Tujuan ; Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x 24 jam diharapakn klien dapat mengerti tentang penyakitnya , dengan kriteria hasil :
• Klien dapat menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penyakitnya

Intervensi keperawatan :
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pengetahuan penderita tentang keadaanya Menentukan intervensi keperawatan selanjutnya.
2. Berikan penjelasan tentang kehamilan dan tindakan yang akan dilakukan :
a. Pengetahuan tentang perdarahan antepartum.
b. Penyebab
c. Tanda dan gejala
d. Akibat perdarahan terhadap ibu dan janin
e. Tindakan yang mungkin dilakukan Penderita mengerti dan menerima keadaannya serta pederita menjadi kooperatif.

4. EVALUASI
Dx 1 : suplai/ kebutuhan darah ke jaringan terpenuhi
Dengan Kriteria Hasil :
• Conjunctiva tidak anemis
• Acral hangat
• Hb normal
• Muka tidak pucat
• Tidak lemas
• TTV dalam batas normal ; Suhu : 36-37 0 C, TD : 120/80 mmHg, RR :18-20x/menit, Nadi : 80-100 x/menit
Dx 2 : tidak terjadi fetal distress
Dengan Kriteria Hasil :
• DJJ normal / terdengar, bisa berkoordinasi
• Adanya pergerakan bayi
• Bayi lahir selamat.
Dx 3 : nyeri berkurang atau terkontrol
Dengan Kriteria Hasil :
• Mengungkapkan nyeri dan tegang di perutnya berkurang
• Skala nyeri 0-1
• Dapat melakukan tindakan untuk mengurangi nyeri
• Kooperatif dengan tindakan yang dilakukan
• TTV dalam batas normal ; Suhu : 36-37 0 C, TD : 120/80 mmHg, RR :18-20x/menit, Nadi : 80-100 x/menit

Dx 4 : cemas terkontrol dan klien dapat mengerti tentang keadaannya
Dengan Kriteria Hasil :
• Klien tidak cemas
• Klien tidak gelisah
• Klien tampak tenang
Dx 5 : syok hipovolemik tidak terjadi
Dengan Kriteria Hasil :
• Perdarahan berkurang
• TTV dalam batas normal ; Suhu : 36-37 0 C, TD : 120/80 mmHg, RR :18-20x/menit, Nadi : 80-100 x/menit
• Keadaan umum baik, kesadaran Compos mentis
Dx 6 : klien dapat mengerti tentang penyakitnya
Dengan Kriteria Hasil :
• Klien dapat menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penyakitnya









DAFTAR PUSTAKA
MANSJOER ARIF DKK . 2001.KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. EDISI 3 JILID 1.FK UI . JAKARTA
WWW.SOLUSI PLASENTA . COM
http://materi-kuliah-akper.blogspot.com/2010/05/askep-solusio-plasenta.html

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN EKLAMPSIA

1. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. DEFINISI
Eklampsia adalah kejang akibat pre-eklamsi, tindakan yang mungkin dilakukan adalah menyelamatkan ibu dan bayinya, biasanya bayi yang lahir dengan kasus ini akan lahir dengan berat badan rendah/kurang gizi.
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan /nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya wanita tadi menunjukkan gejala-gejala pre-eklamsia. (kejang-kejang timbul bukan akibat kelainan neurologik).
Eklamsia kelainan akut pada ibu hamil, saat persalinan atau masa nifas ditandai dengan timbulnya kejang atau koma, dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala pre eklamsia (Hipertensi, oedema, proteinuria).
Eklamsia adalah suatu komplikasi kehamilan yg ditandai dengan peningkatan TD (S > 180 mmHg,D > 110 mmHg),proteinuria,oedema,kejang dan/atau penurunan kesadaran.
Eklampsia adalah akut dengan kejang coma pada wanita hamil dan wanita dalam nifas disertai dengan hipertensi, edema, dan proteinuria.(Obsetri Patologi;UNPAD)
Eklampsia adalah suatu keadaan dimana didiagnosis ketika preeklampsia memburuk menjadi kejang(helen varney;2007)
Eklampsia merupakan kondisi lanjutan dari preeklampsia yang tidak teratasi dengan baik. Selain mengalami gejala preeklampsia, pada wanita yang terkena eklampsia juga sering mengalami kejang-kejang. Eklampsia dapat menyebabkan koma atau bahkan baik sebelum, saat atau setelah melahirkan. (http://www.en.wikipedia.org/wiki/Eclampsia/23/03/2010) Kesimpulan dari kelompok; eklampsia adalah suatu keadaan dimana preeklampsia tidak dapat diatasi sehingga mengalami gangguan yang lebih lanjut yaitu hipertensi, edema, dan proteinuria serta kejang.
Eklamsia adalah terjadinya konvulsi atau koma pada pasien disertai disertai tanda dan gejala pre-eklampsia.

B. ETIOLOGI
Menurut Manuaba, IBG, 2001 penyebab secara pasti belum diketahui, tetapi banyak teori yang menerangkan tentang sebab akibat dari penyakit ini, antara lain:
1. Teori Genetik
Eklamsia merupakan penyakit keturunan dan penyakit yang lebih sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita pre eklamsia.
2. Teori Imunologik
Kehamilan sebenarnya merupakan hal yang fisiologis. Janin yang merupakan benda asing karena ada faktor dari suami secara imunologik dapat diterima dan ditolak oleh ibu.Adaptasi dapat diterima oleh ibu bila janin dianggap bukan benda asing,. dan rahim tidak dipengaruhi oleh sistem imunologi normal sehingga terjadi modifikasi respon imunologi dan terjadilah adaptasi.Pada eklamsia terjadi penurunan atau kegagalan dalam adaptasi imunologik yang tidak terlalu kuat sehingga konsepsi tetap berjalan.
3. Teori Iskhemia Regio Utero Placental
Kejadian eklamsia pada kehamilan dimulai dengan iskhemia utero placenta menimbulkan bahan vaso konstriktor yang bila memakai sirkulasi, menimbulkan bahan vaso konstriksi ginjal. Keadaan ini mengakibatkan peningkatan produksi renin angiotensin dan aldosteron.Renin angiotensin menimbulkan vasokonstriksi general, termasuk oedem pada arteriol. Perubahan ini menimbulkan kekakuan anteriolar yang meningkatkan sensitifitas terhadap angiotensin vasokonstriksi selanjutnya akan mengakibatkan hipoksia kapiler dan peningkatan permeabilitas pada membran glumerulus sehingga menyebabkan proteinuria dan oedem lebih jauh.
4. Teori Radikal Bebas
Faktor yang dihasilkan oleh ishkemia placenta adalah radikal bebas. Radikal bebas merupakan produk sampingan metabolisme oksigen yang sangat labil, sangat reaktif dan berumur pendek. Ciri radikal bebas ditandai dengan adanya satu atau dua elektron dan berpasangan. Radikal bebas akan timbul bila ikatan pasangan elektron rusak. Sehingga elektron yang tidak berpasangan akan mencari elektron lain dari atom lain dengan menimbulkan kerusakan sel.Pada eklamsia sumber radikal bebas yang utama adalah placenta, karena placenta dalam pre eklamsia mengalami iskhemia. Radikal bebas akan bekerja pada asam lemak tak jenuh yang banyak dijumpai pada membran sel, sehingga radikal bebas merusak sel Pada eklamsia kadar lemak lebih tinggi daripada kehamilan normal, dan produksi radikal bebas menjadi tidak terkendali karena kadar anti oksidan juga menurun.
5. Teori Kerusakan Endotel
Fungsi sel endotel adalah melancarkan sirkulasi darah, melindungi pembuluh darah agar tidak banyak terjadi timbunan trombosit dan menghindari pengaruh vasokonstriktor.
Kerusakan endotel merupakan kelanjutan dari terbentuknya radikal bebas yaitu peroksidase lemak atau proses oksidase asam lemak tidak jenuh yang menghasilkan peroksidase lemak asam jenuh.
Pada eklamsia diduga bahwa sel tubuh yang rusak akibat adanya peroksidase lemak adalah sel endotel pembuluh darah.Kerusakan endotel ini sangat spesifik dijumpai pada glumerulus ginjal yaitu berupa “ glumerulus endotheliosis “. Gambaran kerusakan endotel pada ginjal yang sekarang dijadikan diagnosa pasti adanya pre eklamsia.
6. Teori Trombosit
Placenta pada kehamilan normal membentuk derivat prostaglandin dari asam arakidonik secara seimbang yang aliran darah menuju janin. Ishkemi regio utero placenta menimbulkan gangguan metabolisme yang menghasilkan radikal bebas asam lemak tak jenuh dan jenuh. Keadaan ishkemi regio utero placenta yang terjadi menurunkan pembentukan derivat prostaglandin (tromboksan dan prostasiklin), tetapi kerusakan trombosit meningkatkan pengeluaran tromboksan sehingga berbanding 7 : 1 dengan prostasiklin yang menyebabkan tekanan darah meningkat dan terjadi kerusakan pembuluh darah karena gangguan sirkulasi.

7. Teori Diet Ibu Hamil
Kebutuhan kalsium ibu hamil  2 - 2½ gram per hari. Bila terjadi kekurangan-kekurangan kalsium, kalsium ibu hamil akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan janin, kekurangan kalsium yang terlalu lama menyebabkan dikeluarkannya kalsium otot sehingga menimbulkan sebagai berikut : dengan dikeluarkannya kalsium dari otot dalam waktu yang lama, maka akan menimbulkan kelemahan konstruksi otot jantung yang mengakibatkan menurunnya strike volume sehingga aliran darah menurun. Apabila kalsium dikeluarkan dari otot pembuluh darah akan menyebabkan konstriksi sehingga terjadi vasokonstriksi dan meningkatkan tekanan darah.

C. PATOFISIOLOGI
Eklampsia dimulai dari iskemia uterus plasenta yang di duga berhubungan dengan berbagai faktor. Satu diantaranya adalah peningkatan resisitensi intra mural pada pembuluh miometrium yang berkaitan dengan peninggian tegangan miometrium yang ditimbulkan oleh janin yang besar pada primipara, anak kembar atau hidraminion.
Iskemia utero plasenta mengakibatkan timbulnya vasokonstriksor yang bila memasuki sirkulasi menimbulkan ginjal, keadaan yang belakangan ini mengakibatkan peningkatan produksi rennin, angiostensin dan aldosteron. Rennin angiostensin menimbulkan vasokontriksi generalisata dan semakin memperburuk iskemia uteroplasenta. Aldosteron mengakibatkan retensi air dan elektrolit dan udema generalisator termasuk udema intima pada arterior.
Pada eklampsia terdapat penurunan plasma dalam sirkulasi dan terjadi peningkatan hematokrit. Perubahan ini menyebabkan penurunan perfusi ke organ , termasuk ke utero plasental fatal unit. Vasospasme merupakan dasar dari timbulnya proses eklampsia. Konstriksi vaskuler menyebabkan resistensi aliran darah dan timbulnya hipertensi arterial. Vasospasme dapat diakibatkan karena adanya peningkatan sensitifitas dari sirculating pressors. Eklamsi yang berat dapat mengakibatkan kerusakan organ tubuh yang lain. Gangguan perfusi plasenta dapat sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation.

D. PROGNOSIS
Eklampsia selalu menjadi masalah yang serius, bahkan merupakan salah satu keadaan paling berbahaya dalam kehamilan. Statistik menunjukkan di Amerika Serikat kematian akibat eklampsia mempunyai kecenderungan menurun dalam 40 tahun terakhir, dengan persentase 10 % – 15 %. Antara tahun 1991 – 1997 kira – kira 6% dari seluruh kematian ibu di Amerika Serikat adalah akibat eklampsia, jumlahnya mencapai 207 kematian. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa eklampsia dan pre eklamsia berat harus selalu dianggap sebagai keadaan yang mengancam jiwa ibu hamil. Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang meminta korban besar dari ibu dan bayi. Dari berbagai pengumuman, diketahui kematian ibu berkisar antara 9,8% - 25,5% sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yakni 42,2%-48,9%. Sebaliknya, kematian ibu dan bayi di negara maju lebih kecil. Tingginya kematian ibu dan anak di negara-negara yang kurang maju disebabkan oleh kurang sempurnanya pengawasan antenatal dan natal; penderita-penderita eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan yang tepat. Kematian ibu biasanya disebabkan oleh perdarahan otak, dekompenasio kordis dengan edema paru-paru, payah ginja, dan masuknya isi lambung ke dalam jalan pernapasan waktu kejangan.
Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intrauterin dan prematuritas. Berlawanan dengan yang sering diduga, eklampsia tidak menyebabkan hipertensi menahun. Ditemukan bahwa pada penderita yang mengalami eklampsia pada kehamilan pertama, frekuensi hipertensi 15 tahun kemudian/lebih, tidak lebih tinggi daripada mereka yang hamil tanpa eklampsia.

E. KLASIFIKASI
Komplikasi yag terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita eklampsia. Komplikasi di bawah ini biasanya terjadi pada eklampsia :
1. Solusio plasenta.
Komplikas ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia. Di rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo 15,5% solusio plasenta disertai pre-eklampsia.
2. Hipofibrinogenemia
Pada eklampsia, ditemuka 23% hipofibrinogenemia. Maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
3. Hemolisis
Penderita dengan eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal karea ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel-sela hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
4. Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia.
5. Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina, hal ini merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
6. Edema paru-paru
Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.
7. Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada eklampsia merupakan akibat vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tapi ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati juga dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnyz.
8. Sindroma HEELP
Yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet.
9. Kegagalan Ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endotelialtubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
10. Komplikasi lain
Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat kejang-kejang, pneumonia aspirasi, dan DIC (dessiminated intravaskuler coogulation)
11. Prematuritas, dismaturitas, dan kematian intra-uterin.

F. TANDA DAN GEJALA KLINIS EKLAMPSIA
Eklampsia terjadi pada kehamilan 20 minggu atau lebih, yaitu: kejang-kejang atau koma. Kejang dalam eklampsia ada 4 tingkat, meliputi :
1. Tingkat awal atau aura (invasi)
Berlangsung 30-35 detik, mata terpaku dan terbuka tanpa melihat (pandangan kosong), kelopak mata dan tangan bergetar, kepala diputar ke kanan dan ke kiri.
2. Stadium kejang tonik
Seluruh otot badan menjadi kaku, wajah kaku, tangan menggenggam dan kaki membengkok kedalm, pernafasan berhenti, muka mulai kelihatan sianosis, lidah dapat tergigit, berlangsung kira-kira 20-30 detik.
3. Stadium kejang klonik
Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam waktu yang cepat, mulut terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa, dan lidah dapat tergigit. Mata melotot, muka kelihatan kongesti dan sianosis. Setelah berlangsung 1-2 menit kejang klonikberhenti dan penderita tidak sadar, menarik nafas seperti mendengkur.
4. Stadium koma
Lamanya ketidaksadaran ini beberapa menit sampai berjam-jam. Kadang antara kesadaran timbul serangan baru dan akhirnya penderita teteap dalam keadaan koma ( Muchtar Rustam, 1998: 275).


G. KLASIFIKASI EKLAMPSIA
Berdasarkan waktu terjadinya, eksklampsia dapt dibagi:
a. Eklampsia gravidarum
• Kejadian 50% sampai 60%
• Serangan terjadi dalam keadaan hamil
b. Eklampsia parturientum
• Kejadian sekitar 30% sampai 35%
• Batas dengan eklampsia gravidarum sukar ditentukan terutama saat mulai inpartu
c. Eklampsia puerperium
• Kejadian jarang yaitu 10%
• Terjadi serangan kejang atau koma setelah persalinan berakhir

H. MENEGAKKAN DIAGNOSA
Pada umumnya diagnosa pre eklamsia didasarkan atas adanya 2 dari trias gejala utama. Uji diagnostik yang dilakukan pada pre eklamsia menurut Prawirohardjo, S, 1999 adalah :
• Uji Diagnostik Dasar diukur melalui :
Pengukuran tekanan darah, analisis protein dalam urine, pemeriksaan oedem, pengukuran tinggi fundus uteri dan pemeriksaan funduskopi.
• Uji Laboratorium Dasar
a. Evaluasi hematologik (hematokrit, jumlah trombosit, morfologi eritrosit pada sediaan hapus darah tepi).
b. Pemeriksaan fungsi hati (billirubin, protein serum, aspartat amino transferase, dan lain-lain).
c. Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin).
• Uji Untuk Meramalkan Hipertensi
a. Roll over test.
Cara memeriksa :
Penderita tidur miring kekiri kemudian tensi diukur  diastolik, kemudian tidur terlentang, segera ukur tensi, ulangi 5 menit, setelah itu bedakan diastol, tidur miring dan terlentang, hasil pemeriksaan ; ROT (+) jika perbedaan > 15 mmHg, ROT (-) jika perbedaan < 15 mmHg. b. Pemberian infus angiotensin II c. Mean Arterial Pressure yaitu : tekanan siastole + 2 tekanan diastole 3 Hasil (+) : > 85

I. PENCEGAHAN KEJADIAN EKLAMPSIA
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini pre eklamsia. Perlu diwaspadai pada wanita hamil dengan adanya faktor-faktor predisposisi. Walaupun timbulnya pre eklamsia tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian penerangan secukupnya dan pelaksanaan pengawasan yang baik pada wanita hamil (Prawirohardjo S, 1999). Mencegah kejadian pre eklamsia ringan dan mencegah pre eklamsia bertambah berat dengan :
• Diet Makanan
Makan tinggi protein, tinggi karbohidrat, cukup vitamin dan rendah lemak. Dengan makanan empat sehat lima sempurna dengan tambahan 1 telur per hari untuk meningkatkan jumlah protein.
• Cukup Istirahat
Dengan tirah baring 2 x 2 jam per hari miring ke kiri, untuk mengurangi tekanan darah pada vena cava inferior, meningkatkan aliran darah vena dengan tujuan meningkatkan peredaran darah menuju jantung dan placenta sehingga menurunkan iskhemia placenta.
• Pengawasan antenatal selama hamil dengan menilai adanya pre eklamsia dan kondisi janin dalam rahim dengan ; pemantauan tinggi fundus uteri, pemeriksaan janin dalam rahim, denyut jantung janin, dan pemantauan air ketuban, usulkan untuk melakukan USG.
• Penderita berobat jalan dengan nasehat : segera datang bila terdapat tanda-tanda : kaki bertambah berat  oedem, gerakan janin terasa kurang, kepala pusing dan mata makin kabur.

J. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama pengobatan eklampsia adalah menghentikan berulangnya serangan kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu mengizinkan.
Pengawasan dan perawatan yang intensif sangat penting bagi penanganan penderita eklampsia, sehingga ia harus dirawat di rumah sakit. Pada pengangkutan ke rumah sakit diperlukan obat penenang yang cukup untuk menghindarkan timbulnya kejangan ; penderita dalam hal ini dapat diberi diazepam 20mg 1M. Selain itu, penderita harus disertai seseorang yang dapat mencegah terjadinya trauma apabila terjadi serangan kejangan.
Tujuan pertama pengobatan eklampsia ialah menghentikan kejangan mengurangi vasospasmus, dan meningkatkan dieresis. Dalam pada itu, pertolongan yang perlu diberikan jika timbul kejangan ialah mempertahankan jalan pernapasan bebas, menghindarkan tergigitnya lidah, pemberian oksigen, dan menjaga agar penderita tidak mengalami trauma. Untuk menjaga jangan sampai terjadi kejangan lagi yang selanjutnya mempengaruhi gejala-gejala lain, dapat diberikan beberapa obat, misalnya:
• Sodium pentotbal sangat berguna untuk menghentikan kejangan dengan segera bila diberikan secara intravena. Akan tetapi, obat ini mengandung bahaya yang tidak kecil. Mengingat hal ini, obat itu hanya dapat diberikan di rumah sakit dengan pengawasan yang sempurna dan tersedianya kemungkinan untuk intubasi dan resustitasi. Dosisi inisial dapat diberikan sebanyak 0,2 – 0,3 g dan disuntikkan perlahan-lahan.
• Sulfas magnesicus yang mengurangi kepekatan saraf pusat pada hubungan neuromuscular tanpa mempengaruhi bagian lain dari susunan saraf. Obat ini menyebabkan vasodilatasi, menurunkan tekanan darah, meningkatkan dieresis, dan menambah aliran darah ke uterus. Dosis inisial yang diberikan ialah 8g dalam larutan 40% secara intramuscular; selanjutnya tiap 6 jam 4g, dengan syarat bahwa refleks patella masih positif, pernapasan 16 atau lebih per menit, dieresis harus melebihi 600ml per hari; selain intramuskulus, sulfas magnesikus dapat diberikan secara intravena; dosis inisial yang diberikan adalah 4g 40% MgSO4 dalam larutan 10ml intravena secara perlahan-lahan, diikuti 8g IM dan selalu disediakan kalsium gluakonas 1g dalam 10 ml sebagai antidotum.
• Lytic cocktail yang terdiri atas petidin 100 mg, klorpromazin 100 mg, dan prometazin 5o mg dilarutkan dalam glukosa 5% 500 ml dan diberikan secara infus intravena. Jumlah tetesan disesuaikan dengan keadaan dan tensi penderita. Maka dari itu, tensi dan nadi diukur tiap 5 menit dalam waktu setengah jam pertama dan bila keadaan sudah stabil, pengukuran dapat dijarangkan menurut keadaan penderita.
Sebelum diberikan obat penenang yang cukup, maka penderita eklampsia harus dihindarkan dari semua rangsang yang dapat menimbulkan kejangan, seperti keributan, injeksi, atau pemeriksaan dalam.


II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Data yang dikaji pada ibu bersalin dengan eklampsia adalah :
a. Data subyektif :
- Umur biasanya sering terjadi pada primi gravida , < 20 tahun atau > 35 tahun
- Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing, nyeri epigastrium, mual muntah, penglihatan kabur
- Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial, hipertensi kronik, DM
- Riwayat kehamilan : riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta riwayat kehamilan dengan eklamsia sebelumnya
- Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun selingan
- Psiko sosial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya

b. Data Obyektif :
- Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam
- Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, lokasi edema
- Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress
- Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM ( jika refleks + )
- Pemeriksaan penunjang ;
• Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali dengan interval 6 jam
• Laboratorium : protein uri dengan kateter atau midstream ( biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau +1 hingga +2 pada skala kualitatif ), kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatini meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml
• Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu
• Tingkat kesadaran ; penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak
• USG ; untuk mengetahui keadaan janin
• NST : untuk mengetahui kesejahteraan janin


2. Diagnosa Keperawatan
a. Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas b.d kejang
b. Resiko tinggi terjadinya foetal distress pada janin berhubungan dengan perubahan pada plasenta
c. Risiko cedera pada janin berhubungan dengan tidak adekuatnya perfusi darah ke placenta
d. Gangguan psikologis ( cemas ) berhubungan dengan koping yang tidak efektif terhadap proses persalinan


3. Rencana Keperawatan

a. Diagnosa keperawatan 1
Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas b.d kejang
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan nafas maksimal.
Kriteria Hasil :
• Pasien akan mempertahankan pola pernafasan efektif dengan jalan nafas paten atau aspirasi dicegah
Intervensi:
1. Anjurkan pasien untuk mengosongkan mulut dari benda atau zat tertentu atau alat yang lain untu menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi.
R/ menurunkan risiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.
2. Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama serangan kejang.
R/ meningkatkan aliran secret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher atau dada dan abdomen.
R/ untuk memfasilitasi usaha bernafas atau ekspansi dada
4. Lakukan penghisapan sesuai indikasi
R/ menurunkan risiko aspirasi atau aspiksia
5. Berikan tambahan oksigen atau ventilasi manual sesuai kebutuhan.
R/ dapat menurunkan hipoksia cerebral
.

b. Diagnosa keperawatan 2
Resiko tinggi terjadinya foetal distress pada janin berhubungan dengan perubahan pada plasenta
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi foetal distress pada janin
Kriteria Hasil :
• DJJ ( + ) : 12-12-12
• Hasil NST : Normal
• Hasil USG : Normal
Intervensi :
1. Monitor DJJ sesuai indikasi
R/. Peningkatan DJJ sebagai indikasi terjadinya hipoxia, prematur dan solusio plasenta
2. Kaji tentang pertumbuhan janin
R/. Penurunan fungsi plasenta mungkin diakibatkan karena hipertensi sehingga timbul IUGR
3. Jelaskan adanya tanda-tanda solutio plasenta ( nyeri perut, perdarahan, rahim tegang, aktifitas janin turun )
R/. Ibu dapat mengetahui tanda dan gejala solutio plasenta dan tahu akibat hipoxia bagi janin
4. Kaji respon janin pada ibu yang diberi SM
R/. Reaksi terapi dapat menurunkan pernafasan janin dan fungsi jantung serta aktifitas janin
5. Kolaborasi dengan medis dalam pemeriksaan USG dan NST
R/. USG dan NST untuk mengetahui keadaan/kesejahteraan janin


c. Diagnosa keperawatan 3 :
Risiko cedera pada janin berhubungan dengan tidak adekuatnya perfusi darah ke placenta
Tujuan : agar cedera tidak terjadi pada janin
Kriteria Hasil :
Intervensi :
1. Istirahatkan ibu
R/ dengan mengistirahatkan ibu diharapkan metabolism tubuh menurun dan peredaran darah ke placenta menjadi adekuat, sehingga kebutuhan O2 untuk janin dapat dipenuhi
2. Anjurkan ibu agar tidur miring ke kiri
R/ dengan tidur miring ke kiri diharapkan vena cava dibagian kanan tidak tertekan oleh uterus yang membesar sehingga aliran darah ke placenta menjadi lancar
3. Pantau tekanan darah ibu
R/ untuk mengetahui keadaan aliran darah ke placenta seperti tekanan darah tinggi, aliran darah ke placenta berkurang, sehingga suplai oksigen ke janin berkurang.
4. Memantau bunyi jantung ibu
R/ dapat mengetahui keadaan jantung janin lemah atau menurukan menandakan suplai O2 ke placenta berkurang sehingga dapat direncanakan tindakan selanjutnya.
5. Beri obat hipertensi setelah kolaborasi dengan dokter
R/ dapat menurunkan tonus arteri dan menyebabkan penurunan after load jantung dengn vasodilatasi pembuluh darah, sehingga tekanan darah turun. Dengan menurunnya tekanan darah, maka aliran darah ke placenta menjadi adekuat.


d. Diagnosa keperawatan 4
Gangguan psikologis ( cemas ) berhubungan dengan koping yang tidak efektif terhadap proses persalinan
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan kecemasan ibu berkurang atau hilang
Kriteria Hasil :
• Ibu tampak tenang
• Ibu kooperatif terhadap tindakan perawatan
• Ibu dapat menerima kondisi yang dialami sekarang
Intervensi :
1. Kaji tingkat kecemasan ibu
R/. Tingkat kecemasan ringan dan sedang bisa ditoleransi dengan pemberian pengertian sedangkan yang berat diperlukan tindakan medikamentosa
2. Jelaskan mekanisme proses persalinan
R/. Pengetahuan terhadap proses persalinan diharapkan dapat mengurangi emosional ibu yang maladaptif
3. Gali dan tingkatkan mekanisme koping ibu yang efektif
R/. Kecemasan akan dapat teratasi jika mekanisme koping yang dimiliki ibu efektif
4. Beri support system pada ibu
R/. ibu dapat mempunyai motivasi untuk menghadapi keadaan yang sekarang secara lapang dada asehingga dapat membawa ketenangan hati

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan disesuaikan dengan intervensi yang telah ditentukan.

5. Evaluasi
• Dx 1: Pasien akan mempertahankan pola pernafasan efektif dengan jalan nafas paten atau aspirasi dicegah
• Dx 2 :
DJJ ( + ) : 12-12-12
Hasil NST : Normal
Hasil USG : Normal
• Dx 3 : agar cedera tidak terjadi pada janin
• Dx 4 :
Ibu tampak tenang
Ibu kooperatif terhadap tindakan perawatan
Ibu dapat menerima kondisi yang dialami sekaran

Selasa, 23 November 2010

Potongan Rambut yang Sesuai dengan Bentuk Wajah

Potongan rambut sangat berpengaruh dalam mengubah wajah kita. Dengan demikian, kenali dulu bentuk wajah Anda sebelum memotong rambut karena tidak setiap model potongan sesuai untuk semua bentuk wajah. Pada umumnya bentuk wajah manusia terbagi atas 6 yaitu, bentuk wajah bulat, segi empat, panjang, hati, segitiga, oval. Berikut ini di bawah adalah saran potongan rambut yang cocok dari segi bentuk wajah.

Bentuk Wajah Segi Empat/Kotak
Lebar dahi, tulang pipi dan rahang seimbang sehingga terbentuk seperti kotak atau persegi. Pilih potongan rambut yang lembut agak bergelombang untuk menutupi bagian dagu. Hindari potongan rambut bergaya geometris, kecuali jika memang sengaja ingin menonjolkan kekuatan rahang anda. Hindari belahan rambut di tengah. Hindari potongan rambut dengan pinggiran cenderung berat atau lebat. Sebaiknya hindari potongan rambut yang kaku dan jangan selipkan rambut di belakang telinga.

Bentuk Wajah Panjang
Hindari pemotongan rambut yang terlalu tipis di dekat bagian sisi kepala, karena hanya akan memperpanjang wajah anda. Seimbangkan wajah dengan potongan rambut yang menyatu di bagian pinggir. Aksen poni pada bagian dahi dapat membuat wajah tampak lebih pendek.

Bentuk Wajah Hati
Ciri bentuk wajah ini adalah dahi lebar, tulang pipi tinggi serta bentuk dagu meruncing. Pilih belahan rambut dan poni menyamping untuk mengalihkan perhatian dahi ke daerah mata. Hindari panjang rambut sedagu karena akan membuat wajah terlihat semakin runcing ke bawah. Pilihlah berbagai potongan rambut yang membuat penuh bagian rahang. Beri efek keriting pada bagian ujung rambut.

Bentuk Wajah Bulat
Pilih potongan rambut yang lembut (soft cuts). Feathered styles, potongan rambut berlayer. Atau potongan rambut dengan gaya bob bertingkat, untuk memberi kesan panjang dan ramping. Pada potongan rambut pendek usahakan untuk menutupi bagian pipi yang bulat. Dapat juga potongan layer yang menutupi sisi wajah. Hindari potongan rambut super pendek yang akan membuat wajah terlihat semakin bulat dan lebar. Pilih juga model rambut poni tebal yang jatuh ke depan.

Bentuk Wajah Segi Tiga
Pilih potongan rambut yang simpel, dengan bagian rahang yang penuh. Potongan rambut keriting atau bergelombang dapat menjadi alternatif bagi wajah segi tiga. Bagian poni dapat ditata dengan lebih tinggi.

Bentuk Wajah Oval
Panjang wajah 1.5 kali lebar dahi. Bentuk wajah ini adalah yang paling ideal. Untuk tipe ini potongan rambut apa pun akan tampak sesuai, karena cocok dengan berbagai potongan rambut, panjang maupun pendek. Yang perlu diperhatikan adalah bentuk hidung. Hindari belahan rambut di tengah bila bentuk hidung besar dan samarkan dengan poni yang tebal. Untuk menyeimbangkan bentuk wajah, coba potongan layer yang dimulai dari dekat tulang pipi. Pilihlah yang bisa menutupi kekurangan, membuat bentuk wajah menjadi lebih proporsional serta menonjolkan kelebihan pada wajah Anda.

LAPORAN PENDAHULUAN PROLAPS UTERI

Pengertian

Prolaps uteri terjadi karena kelemahan ligamen endopelvik terutama ligamentum tranversal dapat dilihat pada nullipara dimana terjadi elangosiokoli disertai prolapsus uteri tanpa sistokel tetapi ada enterokel.Pada keadaan ini fasia pelvis kurang baik pertumbuhannya dan kurang ketegangannya.

Faktor penyebab lain yang sering adalah melahirkan dan menopause. Persalinan lama dan sulit,meneran sebelum pembukaan lengkap,laserasi dinding vagina bawah pada kala II,penatalaksanaan pengeluaran plasenta,reparasi otot-otot dasar panggul menjadi atrofi dan melemah.Oleh karena itu prolaps uteri tersebut akan terjadi bertingkat-tingkat.

Tanda dan Gejala

Gejala dan tanda-tanda sangat berbeda dan bersifat individual.Kadangkala penderita yang satu dengan prolaps uteri yang cukup berat tidak mempunyai keluhan apapun,sebaliknya penderita lain dengan prolaps ringan mempunyai banyak keluhan.

Keluhan-keluhan yang hampir selalu dijumpai:

a. Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol di genetalia eksterna.

b. Rasa sakit di pinggul dan pinggang(Backache).Biasanya jika penderita berbaring,keluhan menghilang atau menjadi kurang.

c. Sistokel dapat menyebabkan gejala-gejala:

1. Miksi sering dan sedikit-sedikit.Mula –mula pada siang hari,kemudian

lebih berat juga pada malam hari


2. Perasaan seperti kandung kencing tidak dapat dikosongkan seluruhnya.

3.Stress incontinence yaitu tidak dapat menahan kencing jika

batuk,mengejan.Kadang-kadang dapat terjadi retensio urine pada sistokel

yang besar sekali.

d. Retokel dapat menjadi gangguan pada defekasi:

1. obstipasi karena feces berkumpul dalam rongga retrokel.

2. baru dapat defekasi setelah diadakan tekanan pada retrokel dan vagina.

e. Prolapsus uteri dapat menyebabkan gejala sebagai berikut:

1. pengeluaran serviks uteri dari vulva menggangu penderita waktu berjalan dan bekerja.Gesekan portio uteri oleh celana menimbulkan lecet sampai luka dan dekubitus pada portio uteri.

2. lekores karena kongesti pembuluh darah di daerah serviks dan karena infeksi serta luka pada portio uteri.

f. Enterokel dapat menyebabkan perasaan berat di rongga panggul dan rasa penuh di vagina.

Etiologi

Partus yang berulang kali dan terjadi terlampau sering,partus dengan penyulit merupakan penyebab prolapsus genitalis dan memperburuk porolaps yang sudah ada.Faktor-faktor lain adalah tarikan janin pada pembukaan belum lengkap,prasat Crede yang berlebihan untuk mengeluarkan plasenta dsb.Jadi tidaklah mengherankan jika prolapsus genitalis terjadi segera setelah partus atau dalam masa nifas.Asdites dan tumor-tumor di daerah pelvis mempermudah terjadinya hal tsb.Bila prolapsus uteri dijumpai pada nullipara,factor penyebabnya adalah kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus.

Klasifikasi

enurut beratnya dapat dibagi menjadi 3 :
Tingkat I : Prolapsus vagina (prolapsus dinding vagina)
Tingkat II : Prolapsus uteri (portio tampak di dalam vulva)
Tingkat III: Prolapsus totalis, procidentia ( korpus uteri terdapat di luar vulva)

Patofisiologi

Prolapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkat ,dari yang paling ringan sampai prolapsus uteri totalis.Terutama akibat persalinan,khususnya persalinan pervagina yang susah dan terdapatnya kelemahan-kelemahan ligament yang tergolong dalam fasia endopelviks dan otot-otot serta fasia-fasia dasar panggul.Juga dalam keadaan tekanan intraabdominal yang meningkat dan kronik akan memudahkan penurunan uterus,terutama apabila tonus otot-otot mengurang seperti pada penderita dalam menopause.

Serviks uteri terletak diluar vagina,akan tergeser oleh pakaian wanita tersebut.dan lambat laun menimbulkan ulkus yang dinamakan ulkus dekubitus.Jika fasia di bagian depan dinding vagina kendor biasanya trauma obstetric,ia akan terdorong oleh kandung kencing sehingga menyebabkan penonjolan dinding depan vagina kebelakang yang dinamakan sistokel.Sistokel yang pada mulanya hanya ringan saja,dapat menjadi besar karena persalinan berikutnya yang kurang lancar,atau yang diselesaikan dalam penurunan dan menyebabkan urethrokel.Urethrokel harus dibedakan dari divertikulum urethra.Pada divertikulum keadaan urethra dan kandung kencing normal hanya dibelakang urethra ada lubang yang membuat kantong antara urethra dan vagina.kekendoran fasia dibagian belakang dinding vagina oleh trauma obstetric atau sebab-sebab lain dapat menyebabkan turunnya rectum kedepan dan menyebabkan dinding belakang vagina menonjol kelumen vagina yang dinamakan retrokel.Enterokel adalah hernia dari kavum Douglasi.Dinding vagina bagian belakang turun dan menonjol ke depan.Kantong hernia ini dapat berisi usus atau omentum

Penanganan

Pengobatan cara ini tidak seberapa memuaskan tetapi cukup membantu.Cara ini dilakukan pada prolapsus ringan tanpa keluhan,atau penderita masih ingin mendapat anak lagi,atau penderita menolak untuk dioperasi,atau kondisinya tidak mengijinkan untuk dioperasi.

a. Latihan-latihan otot dasar panggul

b. Stimulasi otot –otot dengan alat listrik

c. Pengobatan dengan pessarium,dengan indikasi:kehamilan,bila penderita belum siap untuk dilakukan operasi,sebagai terapi tes,penderita menolak untuk dioperasi,untuk menghilangkan simpton yang ada sambil menunggu waktu operasi dapat dilakukan

Pengobatan Operatif

Prolapsus uteri biasanya disertai dengan prolapsus vagina.Maka,jika dilakukan pembedahan untuk prolapsus uteri,prolapsus vagina perlu ditangani juga.ada kemungkinan terjadi prolapsus vagina yang membutuhkan pembedahan,padahal tidak ada prolapsus uteri,atau prolapsus uteri yang tidak ada belum perlu dioperasi.Indikasi untuk melakukan operasi pada prolapsus vagina adalah adanya keluhan.

Indikasi untuk melakukan operasi pada prolapsus uteri tergantung dari beberapa factor,seperi umur penderita,keinginanya untuk mendapat anak atau untuk mempertahankan uterus,tingkat prolapsus dan adanya keluhan.




ASUHAN KEPERAWATAN PADA PROLAPS UTERI

1. Pengkajian

• Data Subyektif

♦ Sebelum Operasi

Adanya benjolan diselangkangan/kemaluan.

Nyeri di daerah benjolan.

Mual, muntah, kembung.

Konstipasi.

Tidak nafsu makan.

Bayi menangis terns.

Pada saat bayi menangis/mengejan dan batuk­batuk kuat timbul benjolan.

♦ Sesudah Operasi

Nyeri di daerah operasi.

Lemas.

Pusing.

Mual, kembung.

• Data Obyektif

♦ Sebelum Operasi

Nyeri bila benjolan tersentuh.

Pucat, gelisah.

Spasme otot.

Demam.

Dehidrasi.

Terdengar bising usus pada benjolan.

♦ Sesudah Operasi

Terdapat luka pada selangkangan.

Puasa.

Selaput mukosa mulut keying.

Anak / bayi rewel.

2. Diagnosa Keperawatan

• Sebelum Operasi

Diagnosa Keperawatan 1.

Nyeri berhubungan dengan eliminasi urin

Hasil yang diharapkan :

Nyeri berkurang sampai hilang secara bertahap.

Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya,

Rencana tindakan :

1. Observasi tanda-tanda vital

2. Observasi keluhan nyeri, lokasi, jenis dan intensitas nyeri

3. Jelaskan penyebab rasa sakit, cara menguranginya.

4. Beri posisi senyaman mungkin untuk pasien.

5. Ajarkan tehnik-tehnik relaksasi = tarik nafas dalam.

6. Bed obat-obat analgetik sesuai pesanan dokter.

7. Ciptakan lingkungan yang tenang.

Diagnosa Keperawatan 2.

Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan pembedahan.

Hasil yang diharapkan :

Ekspresi wajah tenang.

Rencana tindakan :

1. Kaji tingkat kecemasan pasien.

2. Jelaskan prosedur persiapan operasi seperti pengambilan darah, waktu puasa, jam operasi.

3. Dengarkan keluhan pasien

4. Beri kesempatan anak untuk bertanya.

5. Jelaskan pada pasien tentang apa yang akan dilakukan di kamar operasi dengan terlebih dahulu dilakukan pembiusan.

6. Jelaskan tentang keadaan pasien setelah dioperasi.

Diagnosa Keperawatan 3.

Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan inkontenensia urin

Hasil yang diharapkan :

Turgor kulit elastis.

Rencana tindakan

1. Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam.

2. Timbang berat baclan anak tiap hari.

3. Kalau perlu pasang infus clan NGT sesuai program dokter.

• Sesudah Operasi

Diagnosa Keperawatan 1.

Nyeri berhubungan dengan luka operasi.

Hasil yang, diharapkan :

Nyeri berkurang, secara bertahap.

Rencana tindakan :

1. Kaji intensitas nyeri pasien.

2. Observasi tanda-tanda vital clan keluhan pasien.

3. Letakkan anak pada tempat tidur dengan teknik yang tepat sesuai dengan pembedahan yang dilakukan.

4. Berikan posisi tidur yang menyenangkan clan

aman.

5. Anjurkan untuk sesegera mungkin anak beraktivitas secara bertahap.

6. Berikan therapi analgetik sesuai program medis.

7. Lakukan tindakan keperawatan anak dengan hati-hati.

8. Ajarkan tehnik relaksasi.

Diagnosa Keperawatan 2.

Resiko Tinggi Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan muntah setelah pembedahan.

Hasil yang diharapkan

Turgor kulit elastis, tidak kering.

Mual clan muntah ticlak ada.

Rencana tindakan :

1. Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam.

2. Monitor pemberian infus.

3. Beri minum & makan secara bertahaP.

4. Monitor tanda-tanda dehidrasi.

5. Monitor clan catat cairan masuk clan keluar.

6. Timbang berat badan tiap hari.

7. Catat dan informasikan ke dokter tentang muntahnya.

Diagnosa Keperawatan 3.

Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan luka operasi.

Hasil yang diharapkan

Luka operasi bersih, kering, tidak ada bengkak. tidak ada perdarahan.

Rencana tindakan :

1. Observasi keadaan luka operasi dari tanda­tanda peradangan : demam, merah, bengkak dan keluar cairan.

2. Rawat luka dengan teknik steril.

3. Jaga kebersihan sekitar luka operasi.

4. Beri makanan yang bergizi dan dukung pasien untuk makan.

5. Libatkan keluarga untuk menjaga kebersihan luka operasi clan lingkungannya.

6. Kalau perlu ajarkan keluarga dalam perawatan luka operasi.

Diagnosa Keperawatan 4.

Resiko Tinggi hypertermi berhubungan dengan infeksi pads luka operasi.

Hasil yang diharapkan :

1. Luka operasi bersih, kering, ticlak bengkak. ticlak ada perdarahan.

2. Suhu dalam batas normal (36-37°C)

Rencana tindakan :

1. Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam.

2. Beri terapi antibiotik sesuai program medik.

3. Beri kompres hangat.

4. Monitor pemberian infus.

5. Rawat luka operasi dengan tehnik steril.

6. Jaga kebersihan luka operasi.

7. Monitor clan catat cairan masuk clan keluar.

Diagnosa Keperawatan 5.

Kurang pengetahuan tentang perawatan luka operasi berhubungan dengan kurang informasi.

Hasil yang diharapkan :

1. Orang tua mengerti tentang perawatan luka operasi.

2. Orang tua dapat memelihara kebersihan luka operasi clan perawatannya.

Rencana tindakan :

1. Ajarkan kepada orang tua cara merawat luka operasi & menjaga kebersihannya.

2. Diskusikan tentang keinginan keluarga yang ingin diketahuinya.

3. Beri kesempatan keluarga untuk bertanya.

4. Jelaskan tentang perawatan dirumah, balutan jangan basah & kotor.

5. Anjurkan untuk meneruskan pengobatan/ minum obat secara teratur di rumah, dan kontrol kembali ke dokter.

Evaluasi

Evaluasi dilakukan dengan 2 cara yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaliasi formatif merupakan evaluasi yang dilakukan sedngkan evaluasi sumatif merupakan evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui secara keseluruhan apakah tujuan tercapai atau tidak.

Daftar Pustaka

Doengoes, ME. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC

Carpenito, EJ.2000. Diagnosa Keperawatan. Jakarta:EGC

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN REPRODUKSI CA CERVIKS

I. KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal di sekitarnya (FKUI, 1990; FKKP, 1997).
Kerusakan yang disebabkan oleh kanker ini tergantung pada tempatnya, apakah mengalami metastastase, efek obstruksinya dan efek pada system pertahanan tubuh, misalnya nutrisi ( Carpenito, 1995)
Kanker servik adalah suatu proses keganasan pada servik karena adanya sel-sel/ jaringan abnormal yang pertumbuhannya terus-menerus tidak terbatas, tidak terkoordinir dan mendesak jaringan sekitarnya ( Manuaba, 1993)


B. WOC



Faktor resiko:
Umur, jumlah kehamilan dan partus, jumlah perkawinan, social ekonomi,
higine, kebiasaan merokok, infeksi virus HPV ( Human Papilloma Virus)

Masuknya mutage

Metaplasia sel

Neoplasia intraepitelia serviks

Displasia sel

Deferensiasi sel- sel epitel

Perubahan struktur sel dan fungsi sel-sel normal

Aktivitas regenerasi sel meningkat

Sel-sel ganas / karsinoma




Penekanan / mendesak kurang informasi pemberian kemoterafi
jaringan sekitar serviks



menekan sirkulasi efek samping: rambut rontok
Iskemia ulkus/nekrosis jaringan darah ke otak &
Hipofise



asam lambung
meningkat
Pengeluaran bradikinin, jaringan sekitar
Histamin servik rapuh


Penekanan saraf
simpatik perdarahan mual muntah dan anoreksia







B. ETIOLOGI
Penyebab kanker serviks belum jelas diketahui namun ada beberapa faktor resiko dan predisposisi yang menonjol, antara lain :

1. Umur pertama kali melakukan hubungan seksual
Penelitian menunjukkan bahwa semakin muda wanita melakukan hubungan seksual semakin besar mendapat kanker serviks. Kawin pada usia 20 tahun dianggap masih terlalu muda

2. Jumlah kehamilan dan partus
Kanker serviks terbanyak dijumpai pada wanita yang sering partus. Semakin sering partus semakin besar kemungkinan resiko mendapat karsinoma serviks.

3. Jumlah perkawinan
Wanita yang sering melakukan hubungan seksual dan berganti-ganti pasangan mempunyai faktor resiko yang besar terhadap kankers serviks ini.

4. Infeksi virus
Infeksi virus herpes simpleks (HSV-2) dan virus papiloma atau virus kondiloma akuminata diduga sebagai factor penyebab kanker serviks

5. Sosial Ekonomi
Karsinoma serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah mungkin faktor sosial ekonomi erat kaitannya dengan gizi, imunitas dan kebersihan perseorangan. Pada golongan sosial ekonomi rendah umumnya kuantitas dan kualitas makanan kurang hal ini mempengaruhi imunitas tubuh.

6. Hygiene dan sirkumsisi
Diduga adanya pengaruh mudah terjadinya kankers serviks pada wanita yang pasangannya belum disirkumsisi. Hal ini karena pada pria non sirkum hygiene penis tidak terawat sehingga banyak kumpulan-kumpulan smegma.

7. Merokok dan AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)
Merokok akan merangsang terbentuknya sel kanker, sedangkan pemakaian AKDR akan berpengaruh terhadap serviks yaitu bermula dari adanya erosi diserviks yang kemudian menjadi infeksi yang berupa radang yang terus menerus, hal ini dapat sebagai pencetus terbentuknya kanker serviks.

C. KLASIFIKASI PERTUMBUHAN SEL AKAN KANKER SERVIKS

Mikroskopis
1. Displasia
Displasia ringan terjadi pada sepertiga bagaian basal epidermis. Displasia berat terjadi pada dua pertiga epidermihampir tidak dapat dibedakan dengan karsinoma insitu.

2. Stadium karsinoma insitu
Pada karsinoma insitu perubahan sel epitel terjadi pada seluruh lapisan epidermis menjadi karsinoma sel skuamosa. Karsinoma insitu yang tumbuh didaerah ektoserviks, peralihan sel skuamosa kolumnar dan sel cadangan endoserviks.

3. Stadium karsionoma mikroinvasif.
Pada karksinoma mikroinvasif, disamping perubahan derajat pertumbuhan sel meningkat juga sel tumor menembus membrana basalis dan invasi pada stoma sejauh tidak lebih 5 mm dari membrana basalis, biasanya tumor ini asimtomatik dan hanya ditemukan pada skrining kanker.

4. Stadium karsinoma invasif
Pada karsinoma invasif perubahan derajat pertumbuhan sel menonjol besar dan bentuk sel bervariasi. Petumbuhan invasif muncul diarea bibir posterior atau anterior serviks dan meluas ketiga jurusan yaitu jurusan forniks posterior atau anterior, jurusan parametrium dan korpus uteri.

5. Bentuk kelainan dalam pertumbuhan karsinoma serviks
Pertumbuhan eksofilik, berbentuk bunga kool, tumbuh kearah vagina dan dapat mengisi setengah dari vagina tanpa infiltrasi kedalam vagina, bentuk pertumbuhan ini mudah nekrosis dan perdarahan.

Pertumbuhan endofilik, biasanya lesi berbentuk ulkus dan tumbuh progesif meluas ke forniks, posterior dan anterior ke korpus uteri dan parametrium.

Pertumbuhan nodul, biasanya dijumpai pada endoserviks yang lambatlaun lesi berubah bentuk menjadi ulkus.


Secara markroskopis :
1. Stadium preklinis
Tidak dapat dibedakan dengan servisitis kronik biasa
2. Stadium permulaan
Sering tampak sebagian lesi sekitar osteum externum
3. Stadium setengah lanjut
Telah mengenai sebagian besar atau seluruh bibir porsio
4. Stadium lanjut
Terjadi pengrusakan dari jaringan serviks, sehingga tampaknya seperti ulkus dengan jaringan yang rapuh dan mudah berdarah.
KLASIFIKASI KLINIS
• Stage 0:Ca.Pre invasif
• Stage I: Ca. Terbatas pada serviks
• Stage Ia ; Disertai inbasi dari stroma yang hanya diketahui secara histopatologis
• Stage Ib : Semua kasus lainnya dari stage I
• Stage II : Sudah menjalar keluar serviks tapi belum sampai kepanggul telah mengenai dinding vagina. Tapi tidak melebihi dua pertiga bagian proksimal
• Stage III : Sudah sampai dinding panggula dan sepertiga bagian bawah vagina
• Stage IIIB : Sudah mengenai organ-organ lain.


D. TANDA DAN GEJALA
1. Perdarahan
Sifatnya bisa intermenstruit atau perdarahan kontak, kadang-kadang perdarahan baru terjadi pada stadium selanjutnya. Pada jenis intraservikal perdarahan terjadi lambat.
2. Biasanya menyerupai air, kadang-kadang timbulnya sebeluma ada perdarahan. Pada stadium lebih lanjut perdarahan dan keputihan lebih banyak disertai infeksi sehingga cairan yang keluar berbau disertai nyeri di daerah pelvis, pinggang dan tungkai bawah. Kanker serviks juga disertai keluhan lain sesuai dengan organ yang terkena
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Sitologi/Pap Smear
Keuntungan, murah dapat memeriksa bagian-bagian yang tidak terlihat.
Kelemahan, tidak dapat menentukan dengan tepat lokalisasi.
2. Schillentest
Epitel karsinoma serviks tidak mengandung glycogen karena tidak mengikat yodium. Kalau porsio diberi yodium maka epitel karsinoma yang normal akan berwarna coklat tua, sedang yang terkena karsinoma tidak berwarna.
3. Koloskopi
Memeriksa dengan menggunakan alat untuk melihat serviks dengan lampu dan dibesarkan 10-40 kali.
Keuntungan ; dapat melihat jelas daerah yang bersangkutan sehingga mudah untuk melakukan biopsy.
Kelemahan ; hanya dapat memeiksa daerah yang terlihat saja yaitu porsio, sedang kelianan pada skuamosa columnar junction dan intra servikal tidak terlihat.

4. Kolpomikroskopi
Melihat hapusan vagina (Pap Smear) dengan pembesaran sampai 200 kali

5. Biopsi
Dengan biopsi dapat ditemukan atau ditentukan jenis karsinomanya.

6. Konisasi
Dengan cara mengangkat jaringan yang berisi selaput lendir serviks dan epitel gepeng dan kelenjarnya. Konisasi dilakukan bila hasil sitologi meragukan dan pada serviks tidak tampak kelainan-kelainan yang jelas.


F. Terapi
1. Irradiasi
• Dapat dipakai untuk semua stadium
• Dapat dipakai untuk wanita gemuk tua dan pada medical risk
• Tidak menyebabkan kematian seperti operasi.
2. Dosis
Penyinaran ditujukan pada jaringan karsinoma yang terletak diserviks
3. Komplikasi irradiasi
• Kerentanan kandungan kencing
• Diarrhea
• Perdarahan rectal
• Fistula vesico atau rectovaginalis
4. Operasi
• Operasi Wentheim dan limfatektomi untuk stadium I dan II
• Operasi Schauta, histerektomi vagina yang radikal
5. Kombinasi
• Irradiasi dan pembedahan
Tidak dilakukan sebagai hal yang rutin, sebab radiasi menyebabkan bertambahnya vaskularisasi, odema. Sehingga tindakan operasi berikutnya dapat mengalami kesukaran dan sering menyebabkan fistula, disamping itu juga menambah penyebaran kesistem limfe dan peredaran darah.
6. Cytostatika : Bleomycin, terapi terhadap karsinoma serviks yang radio resisten. 5 % dari karsinoma serviks adalah resisten terhadap radioterapi, diangap resisten bila 8-10 minggu post terapi keadaan masih tetap sama.

II. Teori Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Data dasar
Pengumpulan data pada pasien dan keluarga dilakukan dengan cara anamnesa, pemeriksaan fisik dan melalui pemeriksaan penunjang

Data pasien :
Identitas pasien, usia, status perkawinan, pekerjaan jumlah anak, agama, alamat jenis kelamin dan pendidikan terakhir.

Keluhan utama : pasien biasanya datang dengan keluhan intra servikal dan disertai keputihan menyerupai air.

Riwayat penyakit sekarang :
Biasanya klien pada stsdium awal tidak merasakan keluhan yang mengganggu, baru pada stadium akhir yaitu stadium 3 dan 4 timbul keluhan seperti : perdarahan, keputihan dan rasa nyeri intra servikal.


Riwayat penyakit sebelumnya :
Data yang perlu dikaji adalah :
Riwayat abortus, infeksi pasca abortus, infeksi masa nifas, riwayat ooperasi kandungan, serta adanya tumor. Riwayat keluarga yang menderita kanker.
Keadaan Psiko-sosial-ekonomi dan budaya:
Ca. Serviks sering dijumpai pada kelompok sosial ekonomi yang rendah, berkaitan erat dengan kualitas dan kuantitas makanan atau gizi yang dapat mempengaruhi imunitas tubuh, serta tingkat personal hygiene terutama kebersihan dari saluran urogenital.

Data khusus:
1. Riwayat kebidanan ; paritas, kelainan menstruasi, lama,jumlah dan warna darah, adakah hubungan perdarahan dengan aktifitas, apakah darah keluar setelah koitus, pekerjaan yang dilakukan sekarang
2. Pemeriksaan penunjang
Sitologi dengan cara pemeriksaan Pap Smear, kolposkopi, servikografi, pemeriksaan visual langsung, gineskopi.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis terhadap respon individu, keluarga atau komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan actual atau potensial. Diagnose keperawatan memberikan dasar untuk pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang menjadi tanggung gugat perawat (Doengoes,ME, 2000)
a. Gangguan perfusi jaringan (anemia) b/d perdarahn intraservikal
b. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia, mual
c. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b.d proses penyakit (desakan pada jaringan saraf dan intra servikal )
d. kurang pengetahuan(kebutuhan belajar), mengenai penyakit prognosis, dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi
e. Ansietas b.d terdiagnose c.a serviks sekunder akibat kurangnya pengetahuan tentang Ca. Serviks dan pengobatannya.
f. Resiko tinggi terhadap gangguan konsep diri b.d perubahan dalam penampilan terhadap pemberian sitostatika.

3. Perencanaan
1. Diagnosa : Gangguan perfusi jaringan (anemia) b.d perdarahan masif intra cervikal

Tujuan : Setelah diberikan perawatan selama 1 X 24 jam diharapkan perfusi jaringan membaik

Outcome :
a. Perdarahan intra servikal sudah berkurang
b. Konjunctiva tidak pucat
c. Mukosa bibir basah dan kemerahan
d. Ektremitas hangat
e. Hb 11-15 gr %
d. Tanda vital 120-140 / 70 - 80 mm Hg, Nadi : 70 - 80 X/mnt, S : 36-37 Derajat C, RR : 18 - 24 X/mnt.

Intervensi :
- Observasi tanda-tanda vital
- Observasi perdarahan ( jumlah, warna, lama )
- Cek Hb
- Cek golongan darah
- Beri O2 jika diperlukan
- Pemasangan vaginal tampon.
- Therapi IV

2. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan nafsu makan.
Tujuan :
- Setelah dilakukan perawatan kebutuhan nutrisi klien akan terpenuhi

Outcome :
- Tidak terjadi penurunan berat badan
- Porsi makan yang disediakan habis.
- Keluhan mual dan muntah kurang

Intervensi :
- Jelaskan tentang pentingnya nutrisi untuk penyembuhan
- Berika makan TKTP
- Anjurkan makan sedikit tapi sering
- Jaga lingkungan pada saat makan
- Pasang NGT jika perlu
- Beri Nutrisi parenteral jika perlu.

3. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b.d proses desakan pada jaringan intra servikal

Tujuan
- Setelah dilakukan tindakan 1 X 24 jam diharapka klien tahu cara-cara mengatasi nyeri yang timbul akibat kanker yang dialami

Outcome :
- Klien dapat menyebutkan cara-cara menguangi nyeri yang dirasakan
- Intensitas nyeri berkurangnya
- Ekpresi muka dan tubuh rileks

Intervensi :
- Tanyakan lokasi nyeri yang dirasakan klien
- Tanyakan derajat nyeri yang dirasakan klien dan nilai dengan skala nyeri.
- Ajarkan teknik relasasi dan distraksi
- Anjurkan keluarga untuk mendampingi klien
- Kolaborasi dengan tim paliatif nyeri

4. Kurang pengetahuan kebutuhan belajar), mengenai penyakit prognosis, dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan selama 1 X 30 menit pengetahuan pasien meningkat dengan criteria hasil meningkat.
Kriteria hasil :
-mengungkapkan informasi akurat tentang diagnose dan aturan pengobatan pada tingkat kesiapan diri sendiri
- Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan.
- Melakukan perubahan gaya hidup yang perlu dan berpartisipasi dalam aturan pengobatan.
- Mengidentifikasi/ menggunakan sumber yang tersedia dengan tepat.
Tindakan :
- Tinjau ulang dengan pasien/ orang tentang pemahaman diagnose khusus, alternative pengobatan, dan sifat harapan.
- Tentukan persepsi pasien tentang kanker dan pengobatan kanker; tanyakan tentang pengalaman pasien sendiri/sebelumnnyaatau pengalaman orang lain yang mepunyai kanker
- Berikan informasi yang jelas dan akurat dalam cara yang nyata tetapi sensitive. Jawab pertanyaan secara khusus, tetapi tidak memaksakan dengan detil-detil yang tidak detil yang tidak penting.
- Lakukan evaluasi sebelum pulang ke rumah sesuai indikasi.



5. Ansietas yang berhubungan dengan terdiagnose kanker serviks sekunder kurangnya pengetahuan tentang kanker serviks, penanganan dan prognosenya.

Tujuan :
Setelah diberikan tindakan selama 1 X 30 menit klien mendapat informasi tentang penyakit kanker yang diderita, penanganan dan prognosenya.

Kriteria hasil :
- Klien mengetahui diagnose kanker yang diderita
- Klien mengetahui tindakan - tindakan yang harus dilalui klien.
- Klien tahu tindakan yang harus dilakukan di rumah untuk mencegah komplikasi.
- Sumber-sumber koping teridentifikasi
- Ansietas berkurang
- Klien mengutarakan cara mengantisipasi ansietas.


Tindakan :
- Berikan kesempatan pada klien dan klien mengungkapkan persaannya.
- Dorong diskusi terbuka tentang kanker, pengalaman orang lain, serta tata cara mengentrol dirinya.
- Identifikasi mereka yang beresiko terhadap ketidak berhasilan penyesuaian. ( Ego yang buruk, kemampuan pemecahan masalah tidak efektif, kurang motivasi, kurangnya sistem pendukung yang positif).
- Tunjukkan adanya harapan
- Tingkatkan aktivitas dan latihan fisik

6. Resiko tinggi terhadap gangguan konsep diri b.d perubahan dalam penampilan sekunder terhadap pemberian sitostatika.

Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan, konsep diri dan persepsi klien menjadi stabil

Outcome :
- Klien mampu untuk mengeskpresikan perasaan tentang kondisinya
- Klien mampu membagi perasaan dengan perawat, keluarga dan orang dekat.
- Klien mengkomunikasikan perasaan tentang perubahan dirinya secara konstruktif.
- Klien mampu berpartisipasi dalam perawatan diri.

Intervensi :
- Kontak dengan klien sering dan perlakukan klien dengan hangat dan sikap positif.
- Berikan dorongan pada klien untuk mengekpresikanbperasaan dan pikian tentang kondisi, kemajuan, prognose, sisem pendukung dan pengobatan.
- Berikan informasi yang dapat dipercaya dan klarifikasi setiap mispersepsi tentang penyakitnya.
- Bantu klien mengidentifikasi potensial kesempatan untuk hidup mandiri melewati hidup dengan kanker, meliputi hubungan interpersonal, peningkatan pengetahuan, kekuatan pribadi dan pengertian serta perkembangan spiritual dan moral.
- Kaji respon negatif terhadap perubahan penampilan (menyangkal perubahan, penurunan kemampuan merawat diri, isolasi sosial, penolakan untuk mendiskusikan masa depan.
- Bantu dalam penatalaksanaan alopesia sesuai dengan kebutuhan.
- Kolaborasi dengan tim kesehatan lain yang terkait untuk tindakan konseling secara profesional.
D. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah inisiatif dari tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan dilanjutkan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien (Nursalam, 2001). Implementasi dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah disusun.
E. EVALUASI
Menurut Ignatavicius dan Bayne, 1994 dan Nursalam, 2003 menyatakan evaluasi adalah tindakan intelektual untuyk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya jika berhasil dicapai. Pada pasian dengan kanker serviks evaluasi yang dilakukan meliputi :perfusi jaringan tidak terganggu, nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan, nyeri berkurang, pasien rileks dan melaporkan kecemasan yang berkurang.


DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2. Jakarta : EGC
Carpenito, L.J . (2001). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Doengoes, Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan.Edisi 3. Jakarta : EGC
Hacker and Moore. 2001. Esensial Obstetri dan Ginekologi. Edisi 2. Jakarta : Hipokrates
Mansjoer, Arif. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Media Aesculapitus. Jakarta: Media Aesculapitus
Manuaba, Ida Bagus Gde. (1998). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana untuk pendidikan Bidan. Jakarta: EGC
Nursalam, (2001). Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktek. Jakarta:Salemba Medika